Minggu, 16 Desember 2018

DOMESTIKASI LEBAH MADU (Tinjauan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi)



Apis cerana mengumpulkan serbuk sari  bunga jagung (Zea mays)


Pendahuluan

Domestikasi secara etimologis, berasal dari kata latin domus, atau rumah tangga: penjinakan hewan buas atau hewan liar dan sebagainya: binatang liar yang baru ditangkap di hutan perlu agar dapat dimanfaatkan kegunaannya oleh manusia (KBBI, 2016) atau transformasi dari gaya hidup “liar” menuju yang berbudaya yang terjadi ketika manusia mulai berdomisili secara tetap, mulai terbatasi horison-horisonnya. Sehingga dalam kaitan dengan Lebah Madu maka domestikasi berarti proses penjinakan Lebah yang hidup liar menjadi lebah yang bisa hidup dalam wadah budidaya sehingga bisa dikontrol dan dibudidayakan oleh manusia.


Landasan Dalam Memahami Domestikasi Lebah Madu

Berdasarkan uraian diatas, maka pemahaman yang perlu dipahami tentang domestikasi Lebah Madu dapat dilihat pada beberapa landasan, diantaranya: landasan Ontologis (apa itu domestikasi Lebah Madu); landasan epistemologi (bagaimana domestikasi Lebah Madu), dan landasan aksiologi (untuk apa domestikasi Lebah Madu).


1. Landasan Ontologis

Ketika manusia mendeskripsikan lebah, kita dibatasi oleh perkenalan yang dibuat oleh manusia lain. Lebah madu adalah serangga sosial yang hidup di koloni dan mempertahankan kelangsungan hidup mereka dengan memanen nektar dan serbuk sari dari tanaman berbunga. Lebah terbang dari satu bunga ke bunga yang lain memungkinkan penyerbukan dan reproduksi tanaman dan pohon. Lebah madu mengubah nektar menjadi madu melalui enzim di perut mereka. Lebah madu tidak bertahan hidup sebagai individu. Mereka harus menjadi bagian dari koloni. Entomolog  Thomas Seeley menyebut lebah sebagai 'masyarakat harmonis”, di mana puluhan ribu lebah pekerja, bekerja sama untuk melayani . . . kepentingan umum (Seeley, 2010). Koloni lebah adalah jaringan yang dibuat oleh lebah, mereka bertindak selaras dengan dunia manusia, namun mereka melanjutkan hidup tanpa campur tangan manusia. Dalam banyak hal, koloni lebah madu adalah prototipe kehidupan bermasyarakat yang masing-masing anggotanya terampil dalam ilmu pengetahuan. Mereka menciptakan semua yang mereka butuhkan dari lingkungan mereka dan membangun rumah mereka sendiri dengan cara menghasilkan lilin lebah yang terbuat dari sekresi dari perut mereka. Mereka merancang ruang hidup dengan membentuk sel-sel hexagonal yang mempunyai banyak tujuan;  digunakan untuk reproduksi dan menyimpan madu. Lebah madu dipuji karena efisiensi dan interdependensi mereka, arsitek yang mahir, dan spesies yang diandalkan manusia. Mathews (2011) menyatakan bahwa lebah adalah bagian integral dari “regenerasi kehidupan yang tidak dapat dihidupkan”  oleh planet ini melalui penyerbukan, salah satu “proses metabolisme bumi yang lar biasa” selain fotosintesis, termal dan atmosfer. Namun, seperti yang kita ketahui hanya ketika mereka mulai hilang, misalnya melalui Colony Collapse Disorder (CCD), keberadaan lebah mulai tampak nyata bagi kita (Casper dan Moore, 2009).
Seperti lebah madu, manusia juga makhluk sosial yang kemungkinan tidak akan bertahan hidup sebagai makhluk soliter. Pada tingkat emosional dan psikologis dasar, kita membutuhkan koneksi fisik dengan orang lain. Manusia juga terhubung dengan spesies non-manusia untuk berbagai kenyamanan, baik melalui kucing peliharaan atau ayam yang bertelur dan menjadi menu sarapan. Interpretasi manusia tentang lebah dan deskripsi antropomorfik, kita bisa mempertimbangkan kemungkinan ontologi lebah seperti teori “A good Actor Network Theory” (ANT)  yang dikemukakan oleh Latour (2005) merupakan deskripsi atau proposisi di mana semua aktor melakukan sesuatu dan tidak hanya duduk diam.  Jelas lebih sulit untuk menafsirkan aktor-aktor non-manusia ini karena kita tidak berbicara bahasa mereka, berbagi budaya mereka, terlibat dalam tindakan intim yang saling bernegosiasi dengan mereka. Teori Jaringan Aktor memberi kita cara awal untuk mempertimbangkan lebah sebagai bagian dari jaringan sosial di mana lebah dapat diproduksi secara diskursif dan secara bersamaan hadir secara material. Ada efek pengulangan dimana klasifikasi lebah oleh manusia menghambat pengalaman material lebah, berpotensi mengubah lebah itu sendiri (Hacking, 1995).


2. Landasan Epistemologi

Sekitar 10.000 tahun yang lalu, gletser yang surut dan pengembangan iklim yang lebih stabil di Bumi membantu membentuk munculnya masyarakat berbasis pertanian di luar masyarakat yang sebelumnya berfokus pada perburuan dan pengumpul nomaden (Wenke et al. 2007). Serangga sosial sudah berkolaborasi jauh sebelum manusia ada. Kira-kira 100 juta tahun yang lalu selama periode Cretaceous, angiospermae atau tanaman berbunga, menjadi jenis daun yang dominan di Bumi (Crane 1999). Karena banyak dari tanaman ini memerlukan penyerbukan intra-spesies, para ilmuwan berhipotesis bahwa munculnya angiosperma berkorelasi secara langsung dengan evolusi serangga yang menyimpan madu. Menurut catatan fosil, keberadaan beberapa tanaman berbunga tertua yang membutuhkan penyerbukan serangga bertepatan dengan bukti awal lebah sosial (Crane, 1999).
Perbandingan anatomis serangga prasejarah menunjuk pada lebah sosial yang berevolusi dari tawon, secara perlahan beradaptasi dengan pola makan nektar dan pollen daripada memangsa serangga lain (Winston, 1987). Perubahan ini ditandai dengan jelas oleh perkembangan perlengkapan pembawa serbuk sari (pollen basket), yang paling utama adalah perkembangan bulu rambut dan kaki belakang yang melebar yang meningkatkan kemampuan mereka untuk mengumpulkan dan mengangkut serbuk sari kembali ke sarang (Winston 1987). Meskipun para peneliti tidak dapat memastikan kapan pergeseran ke perilaku bersarang dimulai, bukti tertua menunjuk pada subfamili Miliponinae, sejenis lebah tanpa sengat yang ditemukan secara eksklusif di daerah tropis (Crane 1999). Fosil paling awal menunjukkan kecenderungan ke arah perilaku sosial yang tinggi sejak sekitar 80 juta tahun yang lalu, menampilkan karakteristik fisik lebah modern (Crane 1999). Kira-kira 35 juta tahun setelah evolusi Miliponinae, lebah madu terorganisir pertama (Apis) mulai mengisi daerah dengan iklim sedang dan kepadatan angiosperm tinggi (Crane 1999). Di antara genus Apis, divergensi evolusi terjadi untuk menciptakan berbagai macam spesies lebah madu yang ditemukan di masa kini. Cabang  pertama adalah Apis dorsata dan Apis florea, keduanya membangun sarang bersisir tunggal yang belum sempurna, terbuka dan tidak dilindungi dengan baik dari pemangsa (Crane 1999). Meskipun strategi pembangunan mereka tidak efektif, mereka adalah dua spesies yang terkait langsung dengan lebah madu modern dan mereka ada di Bumi selama lebih dari 30 juta tahun. Selanjutnya metode pembangunan sarang berevolusi mengarah pada munculnya Apis cerana dan spesies yang paling umum ditemukan di Eropa dan Amerika Utara, Apis mellifera. Mereka membentuk ruang bersarang yang terdiri dari beberapa sisir paralel, spesies ini pada awalnya berhasi menyebar secara lokal karena kemampuan unik mereka untuk bertahan hidup di musim dingin dengan membentuk kelompok (cluster) di dalam sarang (Crane 1999).
Para ilmuwan berpendapat bahwa penyebaran lebah madu sebelum keterlibatan manusia kemungkinan besar dapat dikaitkan dengan perubahan iklim selama periode Pleistocene. Selama zaman es, formasi glasial menyebabkan permukaan laut jatuh menciptakan jembatan tanah yang memungkinkan lebah madu melakukan perjalanan antar benua di belahan bumi utara. Ketika suhu global mulai meningkat sekitar 10.000 tahun yang lalu, jembatan terendam dan pulau-pulau terbentuk  mengarah ke evolusi yang berbeda dan distribusi lebah madu yang luas (Crane 1999). Penemuan fosil Hymenoptera di Nevada menunjukkan beberapa bukti bahwa lebah madu mungkin telah melintasi Beringia, jembatan darat yang diduga menghubungkan Rusia modern ke Alaska (Engel et al. 2009). Menurut teori ini, lebah madu berkembang ke Amerika Utara bagian barat dari Asia, di mana mereka kemungkinan besar terbatas pada lingkungan kecil yang mendukung secara ekologis (Engel et al. 2009). Ketika suhu meningkat, fauna dan habitat berubah drastis, menyebabkan kepunahan Apis di Dunia Baru sampai mereka diperkenalkan kembali oleh pemukim Eropa pada 1622 (Engel et al. 2009).

Domestikasi Awal

Para ilmuwan setuju bahwa domestikasi Apis mellifera kemungkinan besar dimulai di suatu tempat di Mesir, meskipun representasi paling awal dari lebah diilustrasikan dalam seni batu cadas di Perancis selatan dan Spanyol utara ( Derek 1999). Catatan paling awal dari manusia mengkonsumsi madu sekitar 3 juta tahun yang lalu dan eksploitasi lebah madu yang luas sekitar 10.000 tahun yang lalu (Crane 1984). Masyarakat awalnya mengambil madu di pepohonan dan di sepanjang tebing berbatu tempat lebah sering membangun sarang. Namun, karena populasi menjadi lebih besar dan lebih menetap, permintaan madu melampaui ketersediaan alaminya (Harissis et al. 2009). Madu digunakan tidak hanya sebagai sumber makanan tetapi juga sebagai bagian dari ritual keagamaan dan sebagai bahan obat, yang berarti harus mudah diakses untuk diambil. Praktek produksi madu yang dikendalikan juga tidak terbatas pada satu area saja. Lukisan di kuburan Mesir menunjukkan praktik peternakan lebah besar dan perdagangan madu yang luas sudah dimulai sejak jaman Minoan (Engel et al. 2009). Bukti lebih lanjut ada dalam hukum Yahudi sekitar tahun 597 SM, di mana mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang mengumpulkan madu pada hari Sabat dan bagaimana sarang harus dekat dan berhubungan dengan rumah (Engel et al. 2009). Mereka semua melakukan pendekatan serupa untuk menarik lebah madu dengan memasang sisir yang dikumpulkan dalam kotak kayu atau silinder yang terbuat dari tanah liat atau lumpur (Engel et al. 2009). Dengan menciptakan rumah-rumah buatan ini, peradaban kuno memulai metode pemeliharaan lebah yang paling awal dan paling kasar. Mereka meletakkan dasar tidak hanya untuk perdagangan pasar madu, tetapi juga mendorong munculnya peradaban baru untuk metode peternakan lebah yang lebih sempurna. Bersamaan dengan itu, praktik-praktik ini mengubah evolusi lebah madu dan meningkatkan pentingnya lebah madu dalam masyarakat pertanian.
Dengan menyebarnya domestikasi lebah madu ke Eropa, tekanan selektif dari peternak lebah secara drastis mengubah perkembangan spesies yang dahulu seragam. Perbedaan-perbedaan ini terutama berasal dari karakteristik khusus yang diinginkan oleh peternak lebah. Umumnya, daftar ini terbatas pada enam faktor utama: kelangsungan hidup koloni selama periode paceklik, kelangsungan hidup koloni ketika aliran madu rendah, ketahanan terhadap penyakit, jumlah maksimum penyimpanan madu, kecenderungan untuk menyengat, dan kemudahan pengamanan oleh asap (Crane 1999). Karakteristik ini menguntungkan peternak lebah madu, namun beberapa karakteristik juga hilang seperti pertahanan alami lebah dan bekurangnya kemampuan mereka untuk bertahan hidup tanpa campur tangan manusia. Perbedaan seleksi muncul tergantung pada tingkat keinginan di setiap lokasi. Sebagai contoh, di masyarakat Afrika, pemburu madu berkompetisi langsung dengan hewan asli sehingga muncul peningkatan agresi (Crane 1999). Di daerah dengan iklim yang lebih hangat, peternak lebah sering kurang peduli dengan temperamen dan lebih fokus memilih lebah yang dapat bertahan hidup pada periode musim dingin (Crane 1999). Selain itu, pemindahan lebah madu dari daerah tropis Afrika ke zona iklim Eropa kemungkinan besar mempengaruhi seleksi alam lebah. Lebah lebih cocok untuk perubahan suhu akan menunjukkan kebugaran yang lebih besar di Eropa, sedangkan lebah lebih mampu migrasi dan bertahan hidup dari  kekeringan, panas, dan hujan berlebihan di daerah tropis.

3. Landasan Aksiologi

Pertanian skala besar dan kepentingan ekonomi di Amerika Utara telah mengubah praktik alami Apis mellifera agar lebih sesuai dengan produksi madu dan penyerbukan tanaman. Sebagai contoh, koloni modern telah menjadi semakin tahan terhadap musim dingin, baik dengan cara memindahkan koloni ke daerah yang lebih hangat di luar musim atau membungkus koloni dalam bahan isolasi (Crane 1999). Kontrol perkawinan juga digunakan untuk mengarahkan evolusi lebah madu di Amerika Utara. Peternak lebah berusaha mengisolasi ratu dan pejantan yang mereka inginkan, dan inseminasi buatan telah dilakukan sejak tahun 1790 (Crane 1999). Meskipun peternak lebah tidak selalu memilih karakteristik yang kondusif untuk produktivitas, hal  ini tetap mengubah evolusi alami Apis mellifera di Amerika Serikat.
Beberapa dekade terakhir, penyerbukan tanaman telah menggantikan produksi madu sebagai penghasilan utama peternak lebah. Pertama kali praktek penyerbukan dilakukan di  New Jersey untuk penyerbukan apel pada tahun 1909, praktik ini telah berkembang menjadi sekitar 2,9 juta koloni yang diangkut untuk keperluan penyebukan pertanian setiap tahun (Morse et al. 2000). Peternak lebah di seluruh Amerika Serikat melakukan perpindahan lebah sesuai dengan musim berbunga berbagai jenis angiosperma yang dipilih untuk penyerbukan. Julianna Tuell (2011) menggambarkan bagaimana lebah di pantai timur, di mana mereka menyerbuki pohon jeruk di Florida, dikirim ke negara-negara bagian menengah untuk penyerbukan squash, dan akhirnya dikirim ke utara ke Maine untuk penyerbukkan blueberry , siklus penyerbukkan ini  akan berulang tiap tahun. Sementara itu lebah liar biasanya hanya mengunjungi tanaman di wilayah iklim tertentu, praktik baru ini telah secara radikal mengubah preferensi dan penggunaan domestikasi Apis mellifera. Penggunaan lebah madu untuk penyerbukan juga telah menyebabkan meningkatnya ketergantungan petani, karena jika koloni lebah terus menurun maka petani terancam tidak panen.





DAFTAR PUSTAKA


Casper MJ and Moore LJ, 2009, Missing Bodies: The Politics of Visibility. New York: New York University Press.

Crane, Eva. Honeybees.In Mason, I. L. (Ed.), 1984,  Evolution of Domesticated Animals, pp. 403-415. London: Longman.

Crane, Eva., 1999, The World History of Beekeeping and Honey Hunting. New York: Routledge.

Engel, Michael S., Ismael A. Hinojosa-Diaz, and Alexandr P. Rasnitsyn, 2009, A Honey Bee from the Miocene of Nevada and the Biogeography of Apis (Hymenoptera: Apidae: Apini). Proceeding of the California Academy of Sciences. 60(3): 23-38.

Latour B, 2005, Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory. Oxford: Oxford University Press.

Hacking I, 1995, Rewriting the Soul: Multiple Personality and the Sciences of Memory .Princeton University Press

Harissis, Haralampos V., and Anatasios V. Harissis, 2009, Apiculture in the Prehistoric Aegean: Minoan and Mycenaean Symbols Revisited. British Archaeological Reports S1958. Oxford: John and Erica Hedges.

KBBI, 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).[Online] Available at: http://kbbi.web.id/pusat.

Mathews F, 2011, Planet Beehive, Australian Humanities Review 50(May): 50-59

Morse, Roger A., and Nicholas W. Calderone, 2000, The Value of Honey Bees as Pollinators of U.S.Crops in 2000. Bee Culture. 128:1-31.

Seeley T., 2010, Honey Bee Democracy, Princenton University Press

Tuell, Julianna, 2011, Center for Integrated Plant Systems. Michigan State University, East Lansing. Lecture.

VanEngelsdorp, Dennis, Jerry Hayes, Robyn M. Underwood, and Jeffery Pettis. 2008,  A Survey of Honey Bee Colony Losses in the U.S., Fall 2007 to Spring. PLoS One 3(12):doi: 10.1371/journal.pone.0004071.

Wenke, Robert J., and Deborah I. Olszewski. 2007, Patterns in Prehistory: Humankind’s First Three Million Years. Oxford: Oxford University Press.

Winston, Mark L. 1987, The Biology of the Honey Bee. Cambridge: Harvard University Press

Kamis, 13 Desember 2018

Sejarah Produksi Lebah Ratu Apis cerana

koloni lebah Apis cerana


Produksi lebah ratu bertujuan memberikan kepastian kepada petani ternak tentang waktu, koloni yang terpilih dan beberapa karakter khusus  (Suryanarayana et al., 1998). Metode pembuatan lebah ratu Apis mellifera telah dikembangkan oleh beberapa peneliti seperti Miller (1912) yang memanfaatkan tingkah laku lebah pekerja membentuk lebah ratu dari larva lebah pekerja ketika lebah ratu lama tidak ada dengan cara memberi sarang berisi larva baru menetas. Jauh sebelum Dr. Miller mempublikasikan penelitiannya, Alley (1883) melakukan pembuatan lebah ratu dengan cara memasukkan lembaran pondasi yang telah dipotong. Doolittle (1888) mengenalkan metode mencangkok (grafting), yaitu pemindahan larva lebah pekerja ke dalam sarang lebah ratu. Metode ini digunakan sampai sekarang dan dianggap sebagai metode yang paling mudah dan paling baik. Jay Smith menggunakan metode Doolittle selama beberapa tahun dan menambahkan beberapa modifikasi pada metode tersebut (Smith, 1923). 
Pengetahuan tentang proses produksi  lebah ratu Apis mellifera telah berkembang dengan baik, namun sangat sedikit yang diketahui tentang hal ini pada Apis cerana dan tidak ada analogi langsung yang diperbolehkan dari satu spesies ke spesies lainnya karena mereka berbeda dalam sejumlah karakteristik morfologi dan perilaku ( Butler, 1962). Salah satu perbedaan besar adalah jumlah spermatozoa yang diproduksi oleh lebah jantan. Ruttner dan Maul (1969) menemukan jumlah spermatozoa yang dihasilkan oleh lebah jantan Apis cerana 5 juta spermatozoa. Jumlah ini sekitar 15% dari jumlah spermatozoa yang dihasilkan oleh Apis mellifera. Disisi lain meskipun jumlah koloni Apis cerana secara umum lebih kecil daripada jumlah koloni Apis mellifera namun lebah ratu Apis cerana bertelur hingga 1.000 telur per hari (Ruttner, 1972). Selanjutnya dalam percobaannya Ruttner (1972) memelihara koloni Apis cerana selama 5 tahun diantara koloni Apis mellifera dan ia menemukan bahwa sistem penyimpanan spermatozoa pada Apis cerana sama efektifnya dengan Apis mellifera. Terlepas dari jumlah spermatozoa yang lebih kecil pada lebah jantan Apis cerana, ia menjelaskan dengan dua cara :
1.    Lebah ratu Apis cerana menerima lebih sedikit spermatozoa selama masa kawin, tetapi proses transfer ke kantung sperma lebih efisien dibandingkan Apis mellifera (hanya 10% yang mencapai kantung sperma) sehingga memberikan hasil akhir yang hampir sama.
2.    Lebah ratu Apis cerana kawin dengan lebih banyak lebah jantan dibandingkan dengan Apis mellifera.
Ruttner (1972) melaporkan telah mempraktekkan pembuatan lebah ratu Apis cerana dengan metode Doolittle sarang lebah ratu ama April 1971 dan cukup berhasil. Setelah melakukan beberapa percobaan ia menarik kesimpulan :
1.    Pembesaran lebah ratu dari larva yang dicangkokkan memberikan hasil yang sama seperti pada Apis mellifera. Diameter sarang lebah ratu tidak boleh lebih dari 8 mm. Koloni tanpa lebah ratu ukuran sedang dapat membersarkan 12-20 sarang lebah ratu.
2.    Tidak mungkin membesarkan larva calon lebah ratu Apis cerana di koloni Apis mellifera. Pada suatu percobaan menggunakan metode mencangkok ganda (larva Apis mellifera pertama, Apis cerana kedua),  8 sarang lebah ratu dari 30 sarang lebah ratu diberi makanan sepanjang tahap larva sampai sarang lebah ratu tertutup. Tetapi larva tidak mengalami metamorfosis dan mereka mati 10 hari setelah mencangkok.
3.    Tidak mungkin membuat koloni kotak kawin dari koloni buatan (lebah saja tanpa anakan, seperti koloni swarming), karena lebah akan melarikan diri segera setelah diijinkan terbang. Satu-satunya metode yang praktis adalah membuat kotak kawin dari sisiran yang berisi anakan. Beberapa kejadian kotak kawin koloni kecil akan melarikan diri atau bersatu dengan koloni lain.
4.    Jika ada lebah jantan di daerah tersebut, perawan Apis cerana tidak mau bertelur sama sekali, atau mereka akan menelurkan lebah jantan. Beberapa lebah ratu akan bertelur normal tetapi 3 minggu kemudian akan bertelur jantan. Fenomena ini mungkin disebabkan karena kedua spesies (Apis mellifera dan Apis cerana) tertarik dengan jenis feromone seksual yang sama. Ketertatikan lebah jantan Apis mellifera dengan lebah ratu Apis cerana sama besar dengan lebah ratu Apis mellifera. Tampaknya ketertarikan lebah jantan Apis mellifera mengganggu proses perkawinan lebah ratu Apis cerana dan mencegah terjadinya pembuahan. Kesuksesan kawin alami Apis cerana diperoleh ketika ketika menggunakan area perkawinan yang cukup terisolasi.
5.    Inseminasi buatan dapat dilakukan pada Apis cerana tetapi akan memakan waktu karena sedikitnya jumlah semen dan kekentalan semen.

Pustaka


Alley, Henry,1883,  The Bee Keeper’s Handy Book. Publ. By author. Wenham, Mass

Butler, C. G.,1962, The world of the honeybee. London : Collins 2nd ed

Doolittle, G. M., 1888, Scientific Queen Rearing. 6th edition. American Bee Journal. Hamilton. Illionis.

Miller, C. C., 1912, How Best Queen Cells Can Be Secured. American Bee Journal. 52(8): 245

Ruttner, F. & Maul, V. (1969) The Cause Of The Hybridization Barrier Between Apis mellifera. Land,   Apis cerana Fabr. XXII Int. Beekeep. Congr. : 561

Ruttner, F., Woyke, J., & Koeniger, N., 1972,  Reproduction in Apis Cerana1. Mating Behaviour. Journal of Apicultural Research, 11(3), 141–146.


Suryanarayana, M. C., Mohana Rao, G. And Subba Rao, K., 1998, Rearing of queen bees in India. All India Beekeepers Association, Pune, India.


Minggu, 09 Desember 2018

Kristalisasi madu


Kristalisasi madu


Madu mengkristal atau granulasi merupakan fenomena alami dimana madu berubah bentuk dari cairan menjadi semi padat. Konsumen biasa menyebutnya “beku”. Madu mengkristal hanya sedikit dipahami oleh konsumen umum. Banyak yang berasumsi bahwa madu mengkristal diakibatkan adanya pemalsuan atau produk sudah tidak alami. Sebenarnya tidak demikian. Kristalisasi madu sebenarnya merupakan proses alamiah dan terjadi secara spontan. Banyak jenis madu mentah atau madu yang belum mengalami pemanasan mempunyai tendensi mengkristal pada saat penyimpanan. Kristalisasi ini tidak mempengaruhi madu, kecuali warna dan tekstur. Kristalisasi tidak menjadikan madu basi. Karakteristik madu tetap terjaga meskipun madu berbentuk kristal. Beberapa konsumen menyukai bentuk kristal karena lebih mudah dioleskan ke roti dan mempunyai rasa yang lebih menggigit. Kristalisasi madu tidak berhubungan dengan kualitas, tetapi kristalisasi sebagai tanda bahwa madu itu mentah (tidak mengalami pemanasan) dan alami.

Mengapa madu mengkristal?


Madu merupakan larutan gula sangat pekat dengan kandungan gula 70% dan air 20%. Hal ini berarti sangat banyak gula yang harus diikat oleh air,  hal ini membuat madu tidak stabil.

 
Dua gula utama dalam madu adalah fruktosa dan glukosa. Secara umum kandungan fruktosa berkisar 30-44% dan glukosa 25-40%. Perbandingan diantara fruktosa dan glukosa menentukan apakah madu akan mengkristal dengan cepat atau lambat. Semakin banyak jumlah glukosa maka madu akan cepat mengkristal demikian pula sebaliknya. Gula yang membentuk kristal adalah glukosa, karena ia memiliki kelarutan yang lebih rendah. Fruktosa lebih larut dalam air dibandingkan dengan glukosa, sehingga ia tetap dalam bentuk cair. Ketika glukosa mengkristal, ia akan terpisah dari air dan membentuk kristal tipis. Ketika kristal ini tumbuh dan lebih banyak glukosa membentuk kristal, kristal-kristal ini akan tersebar dalam madu. Larutan ini akan berubah menjadi bentuk yang stabil dan akhirnya madu akan berubah menjadi kristal.



Beberapa jenis madu membentuk kristal segaram, sebagian lainnya terpisah menjadi dua lapisan dengan lapisan kristal pada bagian bawah dan lapisan cair pada bagian atas. Ukuran kristal yang terbentuk juga bisa berbeda, beberapa akan membentuk kristal lembut dan sebagian lain membentuk kristal kasar seperti pasir. Semakin cepat madu mengkristal maka bentuknya akan semakin lembut. Kristal mempunyai warna yang lebih cerah dibandingkan ketika bentuknya masih berupa cairan. Hal ini mengacu pada fakta bahwa glukosa cenderung membentuk kristal kering, dan bentuk kristal glukosa secara alami berwarna putih bersih. Madu yang berwarna hitam akan membentuk kristal berwarna kecoklatan.
 
  
Seberapa cepat madu mengkristal?

Madu dari jenis yang berbeda akan mengkristal dengan kecepatan yang berbeda pula. Sebagian akan mengkristal beberapa minggu setelah dikeluarkan dari sisiran, sebagian yang lain akan tetap bertahan dalam bentuk cair selama beberapa bulan atau tahun. 

Beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan kristalisasi :
  • Sumber nektar yang dikumpulkan oleh lebah (komposisi gula dalam madu)
  •  Penanganan madu (prosesing)
  • Temperatur penyimpanan
Lama waktu madu membentuk kristal sangat dipengaruhi rasio fruktosa terhadap glukosa dan rasio glukosa terhadap air. Madu yang mengandung glukosa tinggi dan kandungan fruktosa rendah akan mengkristal dengan cepat seperti madu karet dan madu kaliandra. Madu yang mengandung fruktosa tinggi dan glukosa rendah (mengandung glukosa kurang dari 30%) akan mengkristal dengan sangat lambat dan akan bertahan dalam bentuk cair selama beberapa tahun tanpa penanganan khusus seperti madu randu, rambutan dan kopi.  Semakin tinggi kandungan glukosa dan semakin rendah kandungan air maka madu akan mengkristal semakin cepat. Sebaliknya, madu dengan kandungan glukosa lebih rendah dan kandungan air lebih tinggi akan mengkristal lebih lambat. Madu dengan kadar air tinggi akan membentuk kristal dengan tidak merata dan terpisah menjadi bentuk cair dan bentuk kristal. 

Kecepatan madu membentuk kristal tidak hanya dipengaruhi oleh komposisinya, tetapi juga dipengaruhi oleh keberadaan katalis, seperti bibit kristal, butiran pollen dan sisa malam dalam madu. Partikel-partikel kecil ini bertindak sebagai inti dari kristalisasi. Madu mentah (tanpa pemanasan dan penyaringan) yang mengandung sedikit malam, propolis dan pollen akan mengkristal lebih cepat. Madu yang telah mengalami proses (pemanasan dan penyaringan) akan bertahan dalam bentuk cair lebih lama daripada madu mentah karena ketiadaan bibit kristal yang memicu terjadinya kristalisasi glukosa. Madu yang dipersiapkan untuk pasar komersial biasanya dipanaskan dan disaring terlebih dahulu. Pemanasan dan penyaringan akan melarutkan kristal gula dan membuang partikel asing yang mungkin terdapat dalam madu. Cara ini dapat menghambat kristalisasi.

Temperatur penyimpanan mempunyai pengaruh yang besar. Madu mengkristal dengan cepat pada kisaran suhu 10-15oC (50-59oF). Pada temperatur dibawah 10oC (52oF) proses kristalisasi akan melambat. Temperatur yang rendah akan meningkatkan viskositas madu (madu lebih kental ketika dingin), dan ini akan memperlambat pembentukan dan penyebaran kristal. Madu akan tahan mengkristal pada suhu diatas 25oC (77oF). Ketika temperatur 40oC  (104oF) kristal akan larut. Temperatur diatas 40oC (104oF) akan merusak kandungan madu.
Tabel dibawah ini menunjukkan kecepatan relatif kristalisasi berdasarkan jenis madu

 Relative Crystallization Speed of Various Honeys
Honeys Honey Type
Crystallization
African acacia
Black locust (Robinia pseudoacacia)
Cranberry
Litchi
Longan
Milk vetch (Astragalus)
Milkweed (Ascelpia syriaca)
Sage (Salvia officinalis)
Sidr/jujube
Tulip poplar
Tupelo
Bell heather (Calluna cinerea)
Blackberry
Borage (Borago officinails)
Buckwheat
Chestnut (Castania sativa)
Citrus (Orange blossom honey)
Eucalyptus
Fireweed (Epilobium angustifolium)
Linden/lime/basswood (Tilia)
Maple (Acre spp.)
Hawthorn (Crataegus spp.)
Nodding thistle (Carduus nutans)
Rosemary
Sourwood (Oxydendrum arboreum)
Spanish Lavender (Lavendua Stoechas)
Thyme (Thymus vulgaris)
Alfalfa
Apple, pear, plum and cherry
Clover (Trifolium)
Cotton
Dandelion
Lavender (Common lavender) *
Phacelia (lacy or tansy phacelia)
Field bean (Vicia faba)
Goldenrod (Solidago)
Holly (Ilex aquifolium)
Ivy (Hedera Helix)
Mesquite (Prosopis spp.)
Mustard
Oilseed rape
Raspberry
Star thistle (Centaurea solstitialis)
Sunflower
Wild thyme (Thymus serpyllum)
Very slow
Very slow
Very slow
Very slow
Very slow
Very slow
Very slow
Very slow
Very slow
Very slow
Very slow
Slow
Slow
Slow
Slow
Slow
Slow
Slow
Slow
Slow
Slow
Slow
Slow
Slow
Slow
Slow
Slow
Rapid
Rapid
Rapid
Rapid
Rapid
Rapid
Rapid
Rapid
Rapid
Rapid
Rapid
Rapid
Rapid
Rapid
Rapid
Rapid
Rapid
Rapid
*Tergantung temperatur. Kecenderungan mengkristal lebih cepat jika disimpan dibawah suhu 21-23º C (70-75º F). Jika disimpan pada suhu lebih tinggi dari 23-32ºC
(75-90º F) biasanya tidak mengkristal dengan cepat.

Mencairkan madu yang telah mengkristal

Madu yang telah mengkristal dapat kembali ke bentuk cair dengan cara dihangatkan dalam water bath dan warming cabinet, pemanasan harus dilakukan secara tidak langsung, api tidak boleh langsung berhubungan dengan wadah madu.

Suhu dalam sarang lebah berkisar antara 35OC (95OF) dan bisa mencapai 40OC (104OF) selama musim kemarau pada saat lebah mematangkan madu. Untuk tujuan mencairkan madu, suhu yang paling baik adalah 35-40OC (95-104OF). Suhu tidak boleh lebih dari 40oC (104oF) untuk menghindari pemanasan yang berlebihan. Pemanasan madu dalam rentang waktu tertentu akan menurunkan kualitas madu dengan jalan merusak enzim, merubah rasa, aroma dan merubah warna madu menjadi lebih gelap. Pemanasan harus dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak merusak kandungan nutrisi dalam madu. Mencairkan madu yang telah mengkristal dengan tidak merusak kualitasnya bisa dilakukan dengan cara berikut :
Water Bath – panaskan 




PEMBUATAN RATU LEBAH MADU

(Bagian 1) Sebelum kita membicarakan tentang pembuatan Ratu Lebah Madu, ada baiknya kita mengenal Sang Ratu terlebih dahulu. Mengapa d...