Pendahuluan
Domestikasi secara etimologis,
berasal dari kata latin domus, atau rumah tangga: penjinakan hewan buas atau
hewan liar dan sebagainya: binatang liar yang baru ditangkap di hutan perlu
agar dapat dimanfaatkan kegunaannya oleh manusia (KBBI, 2016) atau transformasi
dari gaya hidup “liar” menuju yang berbudaya yang terjadi ketika manusia mulai
berdomisili secara tetap, mulai terbatasi horison-horisonnya. Sehingga dalam
kaitan dengan Lebah Madu maka domestikasi berarti proses penjinakan Lebah yang
hidup liar menjadi lebah yang bisa hidup dalam wadah budidaya sehingga bisa
dikontrol dan dibudidayakan oleh manusia.
Landasan Dalam Memahami Domestikasi Lebah Madu
Berdasarkan uraian diatas, maka
pemahaman yang perlu dipahami tentang domestikasi Lebah Madu dapat dilihat pada
beberapa landasan, diantaranya: landasan Ontologis (apa itu domestikasi Lebah
Madu); landasan epistemologi (bagaimana domestikasi Lebah Madu), dan landasan
aksiologi (untuk apa domestikasi Lebah Madu).
1. Landasan Ontologis
Ketika manusia mendeskripsikan
lebah, kita dibatasi oleh perkenalan yang dibuat oleh manusia lain. Lebah madu
adalah serangga sosial yang hidup di koloni dan mempertahankan kelangsungan
hidup mereka dengan memanen nektar dan serbuk sari dari tanaman berbunga. Lebah
terbang dari satu bunga ke bunga yang lain memungkinkan penyerbukan dan
reproduksi tanaman dan pohon. Lebah madu mengubah nektar menjadi madu melalui
enzim di perut mereka. Lebah madu tidak bertahan hidup sebagai individu. Mereka
harus menjadi bagian dari koloni. Entomolog Thomas Seeley menyebut lebah sebagai
'masyarakat harmonis”, di mana puluhan ribu lebah pekerja, bekerja sama untuk
melayani . . . kepentingan umum (Seeley, 2010). Koloni lebah adalah jaringan
yang dibuat oleh lebah, mereka bertindak selaras dengan dunia manusia, namun
mereka melanjutkan hidup tanpa campur tangan manusia. Dalam banyak hal, koloni
lebah madu adalah prototipe kehidupan bermasyarakat yang masing-masing
anggotanya terampil dalam ilmu pengetahuan. Mereka menciptakan semua yang
mereka butuhkan dari lingkungan mereka dan membangun rumah mereka sendiri
dengan cara menghasilkan lilin lebah yang terbuat dari sekresi dari perut mereka.
Mereka merancang ruang hidup dengan membentuk sel-sel hexagonal yang mempunyai
banyak tujuan; digunakan untuk
reproduksi dan menyimpan madu. Lebah madu dipuji karena efisiensi dan
interdependensi mereka, arsitek yang mahir, dan spesies yang diandalkan
manusia. Mathews (2011) menyatakan bahwa lebah adalah bagian integral dari “regenerasi
kehidupan yang tidak dapat dihidupkan”
oleh planet ini melalui penyerbukan, salah satu “proses metabolisme bumi
yang lar biasa” selain fotosintesis, termal dan atmosfer. Namun, seperti yang
kita ketahui hanya ketika mereka mulai hilang, misalnya melalui Colony Collapse
Disorder (CCD), keberadaan lebah mulai tampak nyata bagi kita (Casper dan
Moore, 2009).
Seperti lebah madu, manusia juga
makhluk sosial yang kemungkinan tidak akan bertahan hidup sebagai makhluk
soliter. Pada tingkat emosional dan psikologis dasar, kita membutuhkan koneksi
fisik dengan orang lain. Manusia juga terhubung dengan spesies non-manusia
untuk berbagai kenyamanan, baik melalui kucing peliharaan atau ayam yang bertelur
dan menjadi menu sarapan. Interpretasi manusia tentang lebah dan deskripsi
antropomorfik, kita bisa mempertimbangkan kemungkinan ontologi lebah seperti
teori “A good Actor
Network Theory” (ANT) yang dikemukakan oleh Latour (2005) merupakan deskripsi
atau proposisi di mana semua aktor melakukan sesuatu dan tidak hanya duduk diam.
Jelas lebih sulit untuk menafsirkan
aktor-aktor non-manusia ini karena kita tidak berbicara bahasa mereka, berbagi
budaya mereka, terlibat dalam tindakan intim yang saling bernegosiasi dengan
mereka. Teori Jaringan Aktor memberi kita cara awal untuk mempertimbangkan
lebah sebagai bagian dari jaringan sosial di mana lebah dapat diproduksi secara
diskursif dan secara bersamaan hadir secara material. Ada efek pengulangan
dimana klasifikasi lebah oleh manusia menghambat pengalaman material lebah,
berpotensi mengubah lebah itu sendiri (Hacking, 1995).
2. Landasan Epistemologi
Sekitar 10.000
tahun yang lalu, gletser yang surut dan pengembangan iklim yang lebih stabil di
Bumi membantu membentuk munculnya masyarakat berbasis pertanian di luar
masyarakat yang sebelumnya berfokus pada perburuan dan pengumpul nomaden (Wenke
et al. 2007). Serangga sosial sudah berkolaborasi jauh sebelum manusia ada.
Kira-kira 100 juta tahun yang lalu selama periode Cretaceous, angiospermae atau
tanaman berbunga, menjadi jenis daun yang dominan di Bumi (Crane 1999). Karena
banyak dari tanaman ini memerlukan penyerbukan intra-spesies, para ilmuwan
berhipotesis bahwa munculnya angiosperma berkorelasi secara langsung dengan
evolusi serangga yang menyimpan madu. Menurut catatan fosil, keberadaan
beberapa tanaman berbunga tertua yang membutuhkan penyerbukan serangga
bertepatan dengan bukti awal lebah sosial (Crane, 1999).
Perbandingan
anatomis serangga prasejarah menunjuk pada lebah sosial yang berevolusi dari
tawon, secara perlahan beradaptasi dengan pola makan nektar dan pollen daripada
memangsa serangga lain (Winston, 1987). Perubahan ini ditandai dengan jelas
oleh perkembangan perlengkapan pembawa serbuk sari (pollen basket), yang paling
utama adalah perkembangan bulu rambut dan kaki belakang yang melebar yang
meningkatkan kemampuan mereka untuk mengumpulkan dan mengangkut serbuk sari
kembali ke sarang (Winston 1987). Meskipun para peneliti tidak dapat memastikan
kapan pergeseran ke perilaku bersarang dimulai, bukti tertua menunjuk pada
subfamili Miliponinae, sejenis lebah tanpa sengat yang ditemukan secara
eksklusif di daerah tropis (Crane 1999). Fosil paling awal menunjukkan
kecenderungan ke arah perilaku sosial yang tinggi sejak sekitar 80 juta tahun
yang lalu, menampilkan karakteristik fisik lebah modern (Crane 1999). Kira-kira
35 juta tahun setelah evolusi Miliponinae, lebah madu terorganisir pertama (Apis) mulai mengisi daerah dengan iklim
sedang dan kepadatan angiosperm tinggi (Crane 1999). Di antara genus Apis,
divergensi evolusi terjadi untuk menciptakan berbagai macam spesies lebah madu
yang ditemukan di masa kini. Cabang pertama adalah Apis dorsata dan Apis florea,
keduanya membangun sarang bersisir tunggal yang belum sempurna, terbuka dan
tidak dilindungi dengan baik dari pemangsa (Crane 1999). Meskipun strategi pembangunan
mereka tidak efektif, mereka adalah dua spesies yang terkait langsung dengan
lebah madu modern dan mereka ada di Bumi selama lebih dari 30 juta tahun. Selanjutnya
metode pembangunan sarang berevolusi mengarah pada munculnya Apis cerana dan spesies yang paling umum
ditemukan di Eropa dan Amerika Utara, Apis
mellifera. Mereka membentuk ruang bersarang yang terdiri dari beberapa
sisir paralel, spesies ini pada awalnya berhasi menyebar secara lokal karena
kemampuan unik mereka untuk bertahan hidup di musim dingin dengan membentuk
kelompok (cluster) di dalam sarang
(Crane 1999).
Para ilmuwan
berpendapat bahwa penyebaran lebah madu sebelum keterlibatan manusia
kemungkinan besar dapat dikaitkan dengan perubahan iklim selama periode Pleistocene.
Selama zaman es, formasi glasial menyebabkan permukaan laut jatuh menciptakan
jembatan tanah yang memungkinkan lebah madu melakukan perjalanan antar benua di
belahan bumi utara. Ketika suhu global mulai meningkat sekitar 10.000 tahun
yang lalu, jembatan terendam dan pulau-pulau terbentuk mengarah ke evolusi yang berbeda dan
distribusi lebah madu yang luas (Crane 1999). Penemuan fosil Hymenoptera di
Nevada menunjukkan beberapa bukti bahwa lebah madu mungkin telah melintasi
Beringia, jembatan darat yang diduga menghubungkan Rusia modern ke Alaska
(Engel et al. 2009). Menurut teori ini, lebah madu berkembang ke Amerika Utara
bagian barat dari Asia, di mana mereka kemungkinan besar terbatas pada
lingkungan kecil yang mendukung secara ekologis (Engel et al. 2009). Ketika suhu
meningkat, fauna dan habitat berubah drastis, menyebabkan kepunahan Apis di Dunia Baru sampai mereka
diperkenalkan kembali oleh pemukim Eropa pada 1622 (Engel et al. 2009).
Domestikasi Awal
Para ilmuwan
setuju bahwa domestikasi Apis mellifera
kemungkinan besar dimulai di suatu tempat di Mesir, meskipun representasi
paling awal dari lebah diilustrasikan dalam seni batu cadas di Perancis selatan
dan Spanyol utara ( Derek 1999). Catatan paling awal dari manusia mengkonsumsi madu
sekitar 3 juta tahun yang lalu dan eksploitasi lebah madu yang luas sekitar
10.000 tahun yang lalu (Crane 1984). Masyarakat awalnya mengambil madu di
pepohonan dan di sepanjang tebing berbatu tempat lebah sering membangun sarang.
Namun, karena populasi menjadi lebih besar dan lebih menetap, permintaan madu
melampaui ketersediaan alaminya (Harissis et al. 2009). Madu digunakan tidak
hanya sebagai sumber makanan tetapi juga sebagai bagian dari ritual keagamaan
dan sebagai bahan obat, yang berarti harus mudah diakses untuk diambil. Praktek
produksi madu yang dikendalikan juga tidak terbatas pada satu area saja.
Lukisan di kuburan Mesir menunjukkan praktik peternakan lebah besar dan
perdagangan madu yang luas sudah dimulai sejak jaman Minoan (Engel et al.
2009). Bukti lebih lanjut ada dalam hukum Yahudi sekitar tahun 597 SM, di mana mereka
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang mengumpulkan madu pada hari Sabat dan
bagaimana sarang harus dekat dan berhubungan dengan rumah (Engel et al. 2009). Mereka
semua melakukan pendekatan serupa untuk menarik lebah madu dengan memasang
sisir yang dikumpulkan dalam kotak kayu atau silinder yang terbuat dari tanah
liat atau lumpur (Engel et al. 2009). Dengan menciptakan rumah-rumah buatan
ini, peradaban kuno memulai metode pemeliharaan lebah yang paling awal dan
paling kasar. Mereka meletakkan dasar tidak hanya untuk perdagangan pasar madu,
tetapi juga mendorong munculnya peradaban baru untuk metode peternakan lebah
yang lebih sempurna. Bersamaan dengan itu, praktik-praktik ini mengubah evolusi
lebah madu dan meningkatkan pentingnya lebah madu dalam masyarakat pertanian.
Dengan
menyebarnya domestikasi lebah madu ke Eropa, tekanan selektif dari peternak
lebah secara drastis mengubah perkembangan spesies yang dahulu seragam.
Perbedaan-perbedaan ini terutama berasal dari karakteristik khusus yang
diinginkan oleh peternak lebah. Umumnya, daftar ini terbatas pada enam faktor
utama: kelangsungan hidup koloni selama periode paceklik, kelangsungan hidup
koloni ketika aliran madu rendah, ketahanan terhadap penyakit, jumlah maksimum
penyimpanan madu, kecenderungan untuk menyengat, dan kemudahan pengamanan oleh
asap (Crane 1999). Karakteristik ini menguntungkan peternak lebah madu, namun
beberapa karakteristik juga hilang seperti pertahanan alami lebah dan
bekurangnya kemampuan mereka untuk bertahan hidup tanpa campur tangan manusia.
Perbedaan seleksi muncul tergantung pada tingkat keinginan di setiap lokasi.
Sebagai contoh, di masyarakat Afrika, pemburu madu berkompetisi langsung dengan
hewan asli sehingga muncul peningkatan agresi (Crane 1999). Di daerah dengan
iklim yang lebih hangat, peternak lebah sering kurang peduli dengan temperamen
dan lebih fokus memilih lebah yang dapat bertahan hidup pada periode musim
dingin (Crane 1999). Selain itu, pemindahan lebah madu dari daerah tropis
Afrika ke zona iklim Eropa kemungkinan besar mempengaruhi seleksi alam lebah.
Lebah lebih cocok untuk perubahan suhu akan menunjukkan kebugaran yang lebih
besar di Eropa, sedangkan lebah lebih mampu migrasi dan bertahan hidup dari kekeringan, panas, dan hujan berlebihan di
daerah tropis.
3. Landasan Aksiologi
Pertanian skala
besar dan kepentingan ekonomi di Amerika Utara telah mengubah praktik alami Apis mellifera agar lebih sesuai dengan
produksi madu dan penyerbukan tanaman. Sebagai contoh, koloni modern telah
menjadi semakin tahan terhadap musim dingin, baik dengan cara memindahkan
koloni ke daerah yang lebih hangat di luar musim atau membungkus koloni dalam
bahan isolasi (Crane 1999). Kontrol perkawinan juga digunakan untuk mengarahkan
evolusi lebah madu di Amerika Utara. Peternak lebah berusaha mengisolasi ratu
dan pejantan yang mereka inginkan, dan inseminasi buatan telah dilakukan sejak
tahun 1790 (Crane 1999). Meskipun peternak lebah tidak selalu memilih
karakteristik yang kondusif untuk produktivitas, hal ini tetap mengubah evolusi alami Apis mellifera di Amerika Serikat.
Beberapa
dekade terakhir, penyerbukan tanaman telah menggantikan produksi madu sebagai
penghasilan utama peternak lebah. Pertama kali praktek penyerbukan dilakukan
di New Jersey untuk penyerbukan apel
pada tahun 1909, praktik ini telah berkembang menjadi sekitar 2,9 juta koloni
yang diangkut untuk keperluan penyebukan pertanian setiap tahun (Morse et al.
2000). Peternak lebah di seluruh Amerika Serikat melakukan perpindahan lebah
sesuai dengan musim berbunga berbagai jenis angiosperma yang dipilih untuk
penyerbukan. Julianna Tuell (2011) menggambarkan bagaimana lebah di pantai
timur, di mana mereka menyerbuki pohon jeruk di Florida, dikirim ke
negara-negara bagian menengah untuk penyerbukan squash, dan akhirnya dikirim ke
utara ke Maine untuk penyerbukkan blueberry , siklus penyerbukkan ini akan berulang tiap tahun. Sementara itu lebah
liar biasanya hanya mengunjungi tanaman di wilayah iklim tertentu, praktik baru
ini telah secara radikal mengubah preferensi dan penggunaan domestikasi Apis mellifera. Penggunaan lebah madu
untuk penyerbukan juga telah menyebabkan meningkatnya ketergantungan petani,
karena jika koloni lebah terus menurun maka petani terancam tidak panen.
DAFTAR PUSTAKA
Casper MJ and Moore LJ, 2009, Missing Bodies: The
Politics of Visibility. New York: New York University Press.
Crane, Eva. Honeybees.In Mason, I. L. (Ed.), 1984, Evolution of Domesticated Animals, pp.
403-415. London: Longman.
Crane, Eva., 1999, The World History of Beekeeping and
Honey Hunting. New York: Routledge.
Engel, Michael S., Ismael A. Hinojosa-Diaz, and
Alexandr P. Rasnitsyn, 2009, A Honey Bee from the Miocene of Nevada and the
Biogeography of Apis (Hymenoptera: Apidae: Apini). Proceeding of the California
Academy of Sciences. 60(3): 23-38.
Latour B, 2005, Reassembling the Social: An
Introduction to Actor-Network-Theory. Oxford: Oxford University Press.
Hacking I, 1995, Rewriting the Soul: Multiple
Personality and the Sciences of Memory .Princeton University Press
Harissis, Haralampos V., and Anatasios V. Harissis,
2009, Apiculture in the Prehistoric Aegean: Minoan and Mycenaean Symbols
Revisited. British Archaeological Reports S1958. Oxford: John and Erica Hedges.
KBBI, 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI).[Online] Available at: http://kbbi.web.id/pusat.
Mathews F, 2011, Planet Beehive, Australian
Humanities Review 50(May): 50-59
Morse, Roger A., and Nicholas W. Calderone, 2000, The
Value of Honey Bees as Pollinators of U.S.Crops in 2000. Bee Culture. 128:1-31.
Seeley T., 2010, Honey Bee Democracy, Princenton
University Press
Tuell, Julianna, 2011, Center for Integrated Plant
Systems. Michigan State University, East Lansing. Lecture.
VanEngelsdorp, Dennis, Jerry Hayes, Robyn M.
Underwood, and Jeffery Pettis. 2008, A
Survey of Honey Bee Colony Losses in the U.S., Fall 2007 to Spring. PLoS One
3(12):doi: 10.1371/journal.pone.0004071.
Wenke, Robert J., and Deborah I. Olszewski. 2007, Patterns
in Prehistory: Humankind’s First Three Million Years. Oxford: Oxford University
Press.
Winston, Mark L. 1987, The Biology of the Honey Bee. Cambridge:
Harvard University Press